Ferman Krniawan, pengamat budaya dan komunikasi digital Universitas Indonesia, mengatakan Indonesia perlu mengembangkan cara berpikir digital yang menggantikan cara berpikir tradisional. Menurut Firman, Indonesia masih digunakan sebagai pasar ekosistem digital. “Berpikir digital sangat berbeda dengan berpikir tradisional. Cara berpikir itulah yang perlu dikembangkan,” katanya.
Ferman berbicara tentang industri manufaktur, industri digital, dan penggunaan perangkat digital untuk membangun daya saing melalui penggunaan perangkat digital. Firman mendemonstrasikan penggunaan perangkat digital dalam teknologi keuangan. Model bisnisnya masih tradisional, tetapi hanya ditingkatkan dengan penggunaan perangkat digital. “Model bisnis keuangan masih tradisional.
Hanya akan ditingkatkan dengan penggunaan perangkat digital,” jelasnya. “Ini berbeda dengan financial technology yang mengembangkan paradigma teknologi untuk jasa keuangan. Dalam paradigma ini, inklusi keuangan tidak harus dilakukan oleh sektor perbankan, tetapi oleh industri teknologi yang memahami sisi keuangan. dilakukan,” imbuhnya. Singkatnya, produk yang dijual di Indonesia masih tradisional, tetapi dikemas secara digital.
“Pemikiran kita saat ini berada pada tahap di mana teknologi memajukan aspek tradisional. Kita masih belum tahu bagaimana menggunakan teknologi secara efisien untuk banyak hal,” kata Firman. Jika perubahan ini berhasil, misalnya di sektor keuangan, akan meningkatkan efisiensi dan jangkauan entitas baru yang sebelumnya tidak dilayani oleh bank. Menurut Firman, ada delapan pilar yang harus dipenuhi dalam operasional membangun ekosistem digital.
Yakni, pilar faktor produksi, konektivitas, infrastruktur, kelembagaan dan regulasi, alat akses digital, persaingan, produksi digital dan industri digital. Dalam hal Digital Skills Gap Index (DSG), Indonesia saat ini berada di peringkat 47 dari 134 negara untuk manfaat keterampilan digitalnya. Firman mengatakan DSGI tidak selalu cocok untuk mengukur kesehatan ekosistem digital Indonesia, tetapi pilar yang cukup identik dapat digunakan sebagai pendekatan untuk melakukannya. DSGI sendiri mengukur keterampilan digital dalam enam dimensi. Yaitu,
1. Digital Skills Institution (Lembaga Keahlian Digital)
2. Responsivitas digital
3. Dukungan pemerintah
4. Penawaran dan permintaan, daya saing
5. Etika dan integritas data (etika dan integritas data)