Berita  

Jokowi, Anies & 100 Kursi Kosong Kepala Daerah

Presiden Joko Widodo

Akmazona.com – Jokowi Berkata Delapan bulan ke depan mungkin akan jadi momen-momen krusial bagi Anies Baswedan. Dia bakal lengser menurut kursi Gubernur DKI Jakarta yg diembannya semenjak 2017 lalu. Namun, beliau tidak pernah tegas buat langkah politiknya ke depan: termasuk ikut kompetisi Pilpres 2024.

“Kalau belum masuk waktunya, jangan bunyikan bunyi adzan,” istilah Anies beberapa saat lalu. Yang kentara, beliau akan jadi masyarakat biasa terhitung pertengahan Oktober 2022 & tidak sanggup pribadi melanjutkan kepemimpinannya pada Ibu Kota. Hal itu terjadi gara-gara anggaran transisi pilkada serentak pada Undang-Undang Pilkada. UU Pilkada mengamanatkan semua pemilihan ketua wilayah digelar dalam November 2024.

Akibat anggaran itu, DKI Jakarta & 540 wilayah lainnya akan ditinggal ketua wilayah mulai pertengahan tahun ini. Kursi-kursi kosong ketua wilayah bakal diisi sang penjabat (Pj.), & dari menurut kalangan aparatur sipil negara (ASN). Provinsi akan dipimpin Pj. Gubernur yang diusulkan menteri pada negeri & dipilih presiden. Sementara kabupaten/kota dipimpin Pj. bupati/wali kota yg diusulkan gubernur & dipilih menteri pada negeri.

Saya kira, hal itu bakal menimbun konflik bagi demokrasi. Ini tentunya bukan soal pro Anies atau tak pro Anies. Bayangkan: 33 provinsi, 415 kabupaten, & 93 kota akan dipimpin sang orang-orang pilihan Presiden Jokowi.

Semua orang presiden itu akan menjabat setidaknya sampai awal 2025, hingga peresmian ketua wilayah output pilkada. Konstitusi tampak dikangkangi. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan ketua wilayah dipilih secara demokratis. Apa penentuan 541 ketua wilayah sang seseorang presiden & seseorang menteri terdengar demokratis? Betapa akbar wewenang Presiden Jokowi & anak buahnya, Mendagri Tito Karnavian, pada menentukan “raja-raja kecil” pada wilayah.

Baca Juga :  Leslar Takingin Komentar Soal Amplop Doni Salmanan

“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Ucapan Lord Acton itu selalu terngiang pada ketua aku ketika memikirkan penunjukan Pj. ketua wilayah. Tanpa menuduh Jokowi & Tito, aku begitu risi akan terdapat cawe-cawe pada penentuan Pj ketua wilayah.

Bagaimana tidak, buat pertama kalinya semenjak reformasi, kekuasaan pada wilayah sanggup dipengaruhi tanpa proses panjang & mahal bernama pilkada. Siapa pun yg hendak mengamankan posisi pada pemilu & pilkada 2024, niscaya terpesona menggunakan hal itu. Terlebih lagi, korupsi jual beli jabatan masih sebagai keliru satu perkara pada pemerintahan Indonesia.

Survei Penilaian Integritas (SPI) 2021 yg digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap nepotisme/korupsi pada promosi/mutasi jabatan terjadi pada 23 % kementerian. Hal yg sama pula terjadi pada 27 % instansi pemerintah wilayah. Perseteruan lainnya merupakan ihwal penunjukan perwira Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia menjadi Pj ketua wilayah. Wacana ini diungkap sang Kemendagri beberapa saat lalu. UU Pilkada memang mengatur Pj.

ketua wilayah dari menurut pejabat pimpinan tinggi madya & pejabat pimpinan tinggi pratama. UU Polisi Republik Indonesia & UU Tentara Nasional Indonesia pula kentara melarang para aparat keamanan & pertahanan ikut pada politik. Meski demikian, tidak terdapat embargo apabila pemerintah memilih perwira Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia yg sedang bertugas pada jabatan sipil. Hal itu pun telah terjadi dalam beberapa pilkada terakhir.

Baca Juga :  Pakar Nilai Indonesia Perlu Mengembangkan Konsep Berpikir Digital

Misalnya, ketika Jokowi memilih Kapolda Jawa Barat Komjen Iriawan alias Iwan Bule menjadi Pj. Gubernur Jawa Barat jelang Pilkada 2018. Jokowi pun tidak tegas menolak penunjukan Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia menjadi Pj. ketua wilayah jelang 2024. Dalam rendezvous menggunakan para pimpinan media massa beberapa saat lalu, beliau cuma bilang undang-undang tidak memperbolehkan Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia aktif sebagai ketua wilayah.

Ya memang begitu, Pak Presiden.

Warisan Jokowi Masalah lainnya menurut penunjukan Pj. ketua wilayah merupakan wewenang lemah.

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 pasal 132A mencantumkan empat embargo bagi Pj. ketua wilayah. Pj ketua wilayah tidak boleh melakukan mutasi pegawai, membatalkan &/atau menerbitkan perizinan yg bertentangan menggunakan anggaran pejabat sebelumnya, menciptakan kebijakan pemekaran wilayah yg bertentangan menggunakan kebijakan pejabat sebelumnya, dan menciptakan kebijakan yg bertentangan menggunakan kebijakan & acara pejabat sebelumnya.

Dengan istilah lain, pemerintahan wilayah mungkin akan lumpuh tiga tahun ke depan. Sebanyak 541 Pj. ketua wilayah akan memimpin pemerintahan wilayah tanpa wewenang menciptakan kebijakan strategis. Hal itu pernah sebagai alasan para elite politik ketika menolak penundaan Pilkada Serentak 2020. Katanya, mereka nir mau pemerintahan wilayah tak sanggup merogoh kebijakan strategis pada masa krisis dampak pandemi Covid-19.

Presiden Joko Widodo pun menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor dua Tahun 2020 yg lalu disahkan DPR menjadi revisi UU Pilkada. Dengan anggaran itu, Pilkada Serentak 2020 permanen sanggup dilaksanakan meski pada keadaan pandemi. Presiden pula sanggup menerangkan bahwa Pilkada 2020 memang sahih diharapkan supaya wilayah sanggup mengeluarkan kebijakan strategis ketika pandemi.

Baca Juga :  Seru! Rusia Tembakan Rudal Hipersonik Pertama Kali ke Ukraina

Termasuk, menepis asumsi Pilkada 2020 cuma ambisi membentuk dinasti politik Keluarga Solo–ketika anaknya, Gibran Rakabuming & Bobby Nasution oleh mantu lolos jadi wali kota.Tampaknya, momen kali ini pun sebagai ajang verifikasi Jokowi. Caranya, tentu menggunakan langkah yg sama misalnya dalam 2020. Jokowi sanggup menerbitkan perppu berisi perpanjangan masa jabatan ketua wilayah.

Mengapa perpanjangan masa jabatan ketua wilayah?

Pertama, para ketua wilayah & wakilnya ketika ini merupakan output pilihan masyarakat. Tentu legitimasi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan ASN pilihan presiden, bukan? Selain itu, masyarakat akan diuntungkan lantaran pemerintah wilayah permanen sanggup menelurkan kebijakan-kebijakan strategis. Apalagi ketika ini Indonesia sedang berupaya pulih menurut pandemi Covid-19.

Sekali lagi, Pak Presiden, ini bukan problem dukung-mendukung Anies Baswedan atau kandidat potensial lainnya buat Pilpres 2024. Lagi pula, pengubahan masa jabatan ketua wilayah nir melanggar konstitusi. Beda menggunakan masa jabatan presiden yg dikunci pada Undang-Undang Dasar 1945. Saya konfiden Pak Jokowi ingin meninggalkan warisan sejarah terbaik. Dan Perppu perpanjangan masa jabatan ketua wilayah, merupakan keliru satunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

eleven − 6 =